Mengenal Owner Almaida Tour And Travel

Sempat menjadi sales di penerbitan buku, guru di pesantren, kemudian nekad menjadi penerjemah di Arab Saudi. Berbekal 10 tahun di Saudi, ia pun pulang ke Sukabumi merintis usaha travel dengan cara menjadi agen perwakilan hingga punya Almaida Tour.
Ahmad Sholehuddin Ridwanullah, dialah sosok santri pemilik nomor stambuk 13726 di Pondok Modern Darussalam Gontor. Setamat dari Pondok tahun 1989, ia menjalankan tugas pengabdian di Pesantren Raudlatul Hasanah Medan, yang saat itu masih punya sekitar 40 santri.
Lelaki kelahiran Sukabumi yang akrab digit ini mengemban tugas di Medan selama 2,5 tahun sela pengabdian, Wawan sempat mengenyam pendidikan kampus di IAIN Sumut Jurusan Perbandingan Agama Setelah itu, ia balik ke Jawa Barat dan menjadi pengajar di Pesantren Matla'ul Huda, Ciparay, Bandung selama 2,5 tahun.
Namun, lagi-lagi Wawan tak bertahan lama dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Ia mencoba peruntungan di dunia kerja menjadi sales di perusahaan penerbitan buku. "Gaji saat itu tidak diberikan secara tetap, tetapi memperoleh penghasilan dari omzet pemasangan iklan di buku," kisahnya kepada Majalah Gontor belum lama ini.
Tugas utamanya adalah menawarkan ruang iklan kepada perusahaan-perusahaan yang ingin memasang promosi dalam buku yang akan diterbitkan. Pemerintah saat itu memberikan rekomendasi tertulis kepada perusahaan-perusahaan untuk beriklan dalam buku tersebut, yang cukup membantu dalam pemasaran.
Saat mengikuti Pameran Pembangunan Jawa Barat, dalam waktu tiga bulan, berhasil mendapatkan omzet hingga Rp 100 juta rupiah. Dari jumlah tersebut, memperoleh komisi 20 persen. "Dari situ, saya memahami bagaimana sistem bisnis penerbitan bekerja dan bagaimana pameran pembangunan bisa menjadi ladang bisnis," ujarnya.
Tahun 1999, setelah mendapat informasi lowongan pekerjaan dari Ustadz Ghoffar owner Penerbit Almahira, ia pun melamar melalui surat fax dan diterima. Akhirnya, Wawan berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai penerjemah di perusahaan yang mengurus visa Tenaga Kerja Indonesia. Ia pun tinggalkan keluarga dan merantau di negeri orang.
Pengalaman pertama di Arab Saudi tidaklah mudah. Bahasa Arab yang dipelajari di Gontor lebih pada bahasa resmi, sementara di lapangan lebih banyak bahasa pasaran. "Awalnya saya bingung dengan bahasa pasaran di sana, namun kemudian saya beradaptasi untuk menggunakan bahasa mereka," ujar Wawan yang dulu di Bagian Koperasi Pelajar di Gontor.
Hari ketiga bekerja, sudah mendapatkan kasus seorang tenaga kerja yang harus menghadapi persidangan. Tugas sebagai penerjemah membawa pengalaman luar biasa, mulai dari menangani kasus gaji yang tidak dibayar, pelecehan, hingga kekerasan yang dialami TKI di Arab Saudi.
Dari sini, Wawan mulai dikenal sebagai seseorang yang memiliki keahlian dalam bahasa Arab. Padahal, ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan kesarjanaan secara formal. "Saya malah dianggap sebagai magister bahasa Arab, meski sebenarnya tidak pernah menyelesaikan pendidikan formal," tutur suami dari Rani Yuliani ini.
Bekerja sebagai penerjemah di Saudi selama 10 tahun membuka banyak pintu, termasuk berinteraksi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi serta memperluas jaringan dengan berbagai pihak. Penghasilan yang diperoleh pun cukup besar, dihitung per jam, dengan bayaran sekitar 100 riyal atau setara dengan 400 ribu rupiah saat itu.
Kembali ke Tanah Air dan Membangun Bisnis
Tahun 2010, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Namun, tantangan baru muncul. Selama enam bulan menganggur, ia mencoba berbagai cara untuk kembali meniti karier. Sempat bergabung dengan teman-teman dalam usahanya meningkat hingga 20 jamaah. Kemudian, mulai merekrut para ustadz dan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam mencari jamaah.
Akhirnya dalam waktu singkat, jumlah jamaah yang diberangkatkan terus meningkat hingga mencapai satu bus penuh. Tahun 2016, melihat adanya perubahan regulasi dari OJK mengenai sistem multilevel marketing dalam bisnis umrah, memutuskan untuk berpindah ke perusahaan Dallas Travel.
Pada Januari 2017, menjadi perwakilan di Sukabumi dari Dallas Travel dengan menggunakan PT Almaida Anugerah Wisata. Dengan strategi pemasaran yang dikembangkan sendiri, berhasil membawa bisnis ini berkembang pesat. Bulan berikutnya, Februari 2017, sudah bisa memberangkatkan satu bus penuh jamaah.
Hingga akhirnya, November 2019, dalam satu keberangkatan bisa mengisi satu pesawat dengan sekitar 400 jamaah. Tahun 2022, Wawan mencoba mengajukan Almaida sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah. Dan pada Februari 2025, PT Almaida resmi berdiri dengan bendera sendiri, tidak lagi sebagai mitra Dallas.
Gedung operasional dua lantai pun sudah dimiliki. Saat ini, terdapat 9 karyawan tetap dan sekitar 100 mitra yang tersebar di berbagai daerah. "Alhamdulillah, Allah mudahkan segala prosesnya, semoga melalui Almaida Travel ini bisa menjadi pendamping tamu Allah yang ingin beribadah di Mekkah dan Madinah," tuturnya.
Setelah mendapatkan izin resmi sebagai PPIU, Wawan akan memperluas jaringan dengan membuka cabang perwakilan di berbagai daerah. Ia berharap, para alumni yang berminat untuk menjadi mitra, pintu kerjasama terbuka lebar. Terutama lembaga pendidikan pesantren milik alumni atau pada umumnya, bisa menjadi mitra Almaida.
Ke depan, Wawan punya mimpi ingin mendirikan pesantren sendiri. "Semoga dengan berjalannya usha ini, kami bermimpi bisa membangun pesantren sebagai cita-cita besar dalam membangun lembaga pendidikan berbasis usaha mandiri. Insya Allah, Allai mudahkan jalannya," paparnya.
Nama Almaida diambil dari nama anak pertama, alumni Mantingan tahun 2017. Perjalanan ini adalah bukti bahwa modal utama dalam hidup ada-lah keyakinan, keberanian, dan kekuatan spiritual. Keikhlasan adalah kunci, dan selama ini segala rintangan berhasil dilewati dengan modal tersebut.
Saat nyantri, Wawan merasakan langsung pendidikan dari KH. Imam Zarkasyi selama tiga tahun. Baginya, Pak Zar adalah sosok bapak yang me-ngayomi, selalu memberi motivasi ten-tang keikhlasan. "Pak Zar tidak banyak materi yang disampaikan. Keikhlasan yang terus dimotivasi. Mudah diucapkan, tapi tidak semua orang bisa menjalankannya," ujarnya.
Salah satunya slogan yang selalu ditanyakan saat ujian masuk ke Gontor adalah "Ke Gontor apa yang kamu cari?" Itu sebenarnya bisa menjadi pertanyaan sekaligus jawaban dari pertanyaan itu sendiri. "Ketika kita masuk Gontor yang kamu cari basket yang didapat basket saja, bahasa saja yang dapat bahasa saja “ tuturnya.
